Usai Dinyatakan Lulus? Mengapa 700-an CPNS Dosen Kemendikbud Ristek 2024 Mengundurkan Diri? Ini Alasannya

tanda tanya-pixabay-
Usai Dinyatakan Lulus? Mengapa 700-an CPNS Dosen Kemendikbud Ristek 2024 Mengundurkan Diri? Ini Alasannya
Sebuah fenomena menarik dan cukup mencengangkan terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Setelah melalui proses seleksi yang panjang, ketat, dan kompetitif, sebanyak 700-an peserta CPNS dosen tahun 2024 yang sebelumnya dinyatakan lulus justru memilih untuk mengundurkan diri. Informasi ini pertama kali muncul dari pengumuman resmi Kemendikbud Ristek Nomor 2069/A.A3/KP.01.01/2025, yang menyebutkan bahwa sebanyak 653 peserta secara resmi menyatakan mundur dari proses seleksi. Sementara itu, 61 peserta lainnya dianggap gugur karena tidak menyelesaikan pengisian Daftar Riwayat Hidup (DRH) hingga batas waktu yang ditentukan.
Hal ini tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah berjuang keras melewati tahapan seleksi CPNS, mulai dari tes administrasi hingga ujian substansi, akhirnya memilih untuk mundur begitu saja? Apa yang membuat mereka rela meninggalkan peluang emas menjadi abdi negara sebagai dosen di bawah naungan Kemendikbud Ristek?
Melalui diskusi di media sosial dan curhatan para peserta, beberapa alasan utama mulai terungkap. Berikut ini adalah ulasan mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong keputusan mereka untuk mengundurkan diri.
1. Penempatan Jauh dari Domisili: Tantangan Utama bagi Para Peserta
Salah satu alasan paling umum yang sering disebutkan adalah penempatan yang jauh dari domisili asal. Banyak peserta yang awalnya mendaftar di perguruan tinggi tertentu, tetapi setelah gagal lolos di kampus tersebut, mereka dialihkan ke perguruan tinggi lain melalui sistem PL-3. Sayangnya, perguruan tinggi pengganti tersebut seringkali berlokasi di daerah yang sangat jauh dari tempat tinggal mereka.
Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu warganet dengan akun Twitter @mipiapiomi, "Bapak ibu, maaf ini sepaham saya, kenapa banyak yang mengundurkan diri karena sistem PL-3 (cmiiw). Jadi, misal daftar di PTN A tidak lolos, lalu diloloskan ke PTN B. Banyak yang tidak lanjut daftar karena jauh dari domisili atau PTN yang sebelumnya dipilih. That's why banyak yang undur diri."
Bagi sebagian besar peserta, jarak yang jauh bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga berkaitan dengan biaya hidup, transportasi, hingga kendala keluarga. Banyak dari mereka yang sudah memiliki tanggungan keluarga atau pekerjaan sampingan di tempat tinggal mereka, sehingga sulit untuk pindah ke lokasi baru tanpa pertimbangan matang.
2. Beban Kerja Berat dan Penghasilan Tak Sebanding
Selain masalah penempatan, beban kerja yang harus ditanggung oleh para calon dosen juga menjadi alasan kuat lainnya. Menjadi dosen tidak hanya sekadar mengajar di kelas. Mereka juga dituntut untuk aktif dalam penelitian, publikasi jurnal internasional seperti Scopus, serta memenuhi persyaratan akademik lainnya seperti melanjutkan studi S2 atau S3.
Namun, sayangnya, beban kerja yang berat ini tidak selalu dibarengi dengan penghasilan yang memadai. Akun Twitter @saifulteladan menulis, "1. Ditempatkan jauh dari tempat tinggal sekarang. 2. Dituntut untuk menyelesaikan pendidikan yang paripurna. 3. Penghasilan tak sebanding dengan beban kerja. 4. Aturan JAD yang semakin ruwet dan terus berubah. 5. Penelitian, jurnal, Sinta, Scopus, dan lainnya bikin mumet."
Komentar ini mencerminkan realitas yang dihadapi oleh banyak dosen di Indonesia. Meskipun tugas mereka sangat kompleks, gaji yang diterima seringkali tidak sebanding dengan tekanan dan tanggung jawab yang harus dipikul. Hal ini membuat sebagian peserta merasa bahwa karier sebagai dosen tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.
3. Peluang Melanjutkan Studi S3 di Luar Negeri
Tidak sedikit peserta yang memilih untuk mundur karena mereka mendapatkan kesempatan emas untuk melanjutkan studi S3 di luar negeri dengan beasiswa. Salah satu contohnya adalah pengakuan dari akun @id_bioproject, yang menyatakan, "Salah satunya saya, mengundurkan diri karena diterima S3 di LN. Dan beasiswa tidak mengikat untuk pulang 'mengabdi'. Yang saya heran saat ini katanya butuh banyak doktor, tapi aturan untuk memudahkan 'mendapat dosen doktor' suka rancu."
Beasiswa luar negeri sering kali memberikan peluang lebih luas untuk pengembangan karier dan peningkatan kapasitas diri. Selain itu, banyak program beasiswa internasional tidak mengharuskan penerima untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya. Dengan demikian, mereka lebih memilih untuk fokus pada pendidikan tinggi mereka daripada terikat kontrak sebagai dosen di Indonesia.
4. Formasi “Sisa” yang Kurang Ideal
Selain masalah penempatan dan beban kerja, ada juga isu terkait formasi kosong yang dialokasikan kepada peserta melalui sistem integrasi ulang. Peserta yang gagal di kampus pilihan utama sering kali dialihkan ke formasi kosong di perguruan tinggi lain. Namun, formasi tersebut seringkali tidak sesuai dengan latar belakang akademik, lokasi yang diinginkan, atau bahkan prospek karir yang diharapkan.
Akun Twitter @direktoridosen menjelaskan situasi ini dengan cukup gamblang, "Saya dapat kursi sisa, Mas. Misalnya saya daftar di Unila dan lulus sampai tahap akhir. Hanya ada satu kursi, sementara yang lolos ke tahap akhir ada tiga orang. Saya kebetulan peringkat dua, jadi otomatis tidak lolos. Tapi kemudian, setelah proses integrasi ulang, saya dapat satu kursi kosong di kampus lain yang spesifikasinya sesuai dengan latar belakang pendidikan S2/S3 saya. Kebetulan kampusnya tidak terlalu jauh, misalnya di Unipa."